Hari Kartini dan Sosok Kartini

Deksa N.
5 min readFeb 5, 2021

--

Kita semua pasti pernah ngalamin lomba pakaian adat, ataupun lomba-lomba lainnya pas hari Kartini waktu sekolah dulu. Tapi, pernah ngga sih di hari itu ada yang jelasin sosok Kartini yang sesungguhnya tuh kaya apa? Atau di hari itu cuma digaungkan emansipasi perempuan? Atau bahkan cuma sekedar seremonial belaka untuk adu penampilan? Sepengalaman gw selama sekolah, gw hanya bisa mengiyakan 2 pertanyaan terakhir. Mirisnya (ya bagi gw miris sih), gw baru kenal lebih jauh Ibu Kartini setelah baca buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, yang berisi banyak surat kepada sahabat-sahabatnya di tahun 1890–1900 an, baik yang di Belanda ataupun Hindia Belanda (Indonesia).

Sebelum baca buku itu, gw berpikir Ibu Kartini hanya soal emansipasi perempuan tanpa tahu latar belakang dan perjuangannya soal ide tersebut. Padahal, beliau bukan hanya sosok yang memiliki nama tengah “emansipasi”, tapi juga sangat layak dijuluki sebagai Ibu Bangsa.

Kenapa Ibu Bangsa? Karena dia ingin menjadikan setiap perempuan bumiputera memiliki budi pekerti yang baik, pola pikir yang benar, dan menguasai banyak keterampilan dari sekolah yang dia dirikan. Hal itu tidak lain untuk membuat anak yang mendapat pendidikan pertama dari mereka akan berpengaruh baik pada masyarakat sekaligus meningkatkan derajat bangsanya karena bangsa bumiputera itu dianggap “monyet” oleh Londo. Bahkan, bangsa bumiputera yang bisa bahasa Belanda, ngga boleh berbicara sedikitpun dengan bahasa itu karena dianggap membuat hina bahasa Belanda. Ibu Kartini berpikir lebih jauh daripada sekedar menyetarakan hak perempuan dan laki-laki. Bayangin deh, di tahun-tahun segitu ada perempuan yang berpikir demikian. Merinding, ngga sih?

Memang gw akui beliau bisa berpikir demikian karena ada secuil previlese akibat terlahir sebagai anak Bupati Jepara. Ya, hanya secuil, beliau bisa bersekolah sampai umur 12 tahun dengan bangsa Eropa dan anak-anak bumiputera lainnya yang memiliki previlese yang sama. Secuil lainnya, beliau bisa mendapat buku-buku berbahasa Belanda dari Abangnya yang bersekolah di Belanda. Menjadi anak perempuan bupati bukan berarti beliau bisa dengan mudah mengenyam pendidikan sebanyak-banyaknya dan bersuara bebas. Adat Jawa bumiputra kala itu sangat membatasi perempuan, terlebih menganggap perempuan itu rendah. Setelah umur 12 tahun, di umur yang masih kanak-kanak Kartini dan 2 orang adik perempuannya dipingit di kamar, ngga bisa tuh dia petakilan di sekeliling rumah, sekalinya bisa keluar kamar harus kecil-kecil jalannya. Lalu, persoalan menganggap perempuan rendah bisa dilihat dari perlakuan menyebalkan abang-abang Kartini yang lain (iya, keluarganya besar, anaknya banyak) terhadap dirinya, yang terjadi akibat stigma dari adat yang para Ibu tanamkan kepada anak laki-laki.

Jadi, previlese utama atas pemikiran hebat beliau walau dalam kondisi terkurung adalah pribadi dia sendiri. Pribadi yang banyak merenung, yang selalu bertanya dengan kritis, yang memiliki mental tangguh yang membuatnya bersama kedua orang adik dan para sahabat terus berjuang selama kurang lebih 5 tahun (cmiiw) untuk meningkatkan derajat bangsanya. Berjuang membujuk orang tuanya untuk merestui dia bersekolah ke Belanda, berjuang membujuk pemerintah untuk menyetujui sekaligus membiayai dirinya bersekolah di Belanda, berjuang membujuk rakyat bumiputera untuk mengizinkannya mendirikan sekolah bagi kaum perempuan, dan berjuang membuat keinginannya tidak redup sekalipun menghadapi hambatan-hambatan besar.

Singkatnya, wacana bersekolah di Belanda sebagai langkah awalnya untuk bisa mengajar kaum perempuan hampir terkabul. Tetapi, hal itu sirna karena Kartini yang pada dasarnya penuh kasih sayang dan tidak egois kerap kali memikirkan ayahnya serta rakyat bumiputera. Dia khawatir ayahnya akan sakit lagi dan khawatir rakyat bumiputera makin sulit untuk mengizinkan Kartini versi londo (rakyat bumiputera kemungkinan besar akan menganggap Kartini seorang londo jika Kartini pulang dari studinya di Belanda) mendirikan sekolah. Setelah berkompromi dengan orang tua dan para sahabatnya, ia memutuskan untuk bersekolah di Betawi. Berdasar tirto.id, keputusan Kartini ini sangat dipengaruhi intrik politik Tn. dan Ny. Abendanon yang tidak menginginkan munculnya kaum proletar baru dari bumiputera yang akan membahayakan para londo yang berkuasa di Hindia Belanda. Tentu gw ga akan bahas politik disini karena akan melebar konteksnya Hehe.

Kemudian, wacana bersekolah di Betawi juga ngga terlaksana karena Kartini menikah dengan Bupati Rembang yang merupakan seorang duda. Beruntungnya, suaminya memiliki pemahaman yang sama dan sangat mendukung soal pentingnya menginvestasikan pengajaran kepada kaum perempuan agar bisa menjadi pendidik pertama yang baik dan benar. Hal yang membahagiakan bagi Kartini bisa menjadi isteri Bupati Rembang yang beda dari kebanyakan laki-laki bumiputera. Posisi sebagai isteri Bupati pun ternyata membuka pintu lebar untuk bisa memperoleh banyak murid perempuan, baik itu untuk sekolah di Jepara maupun Rembang. Terlihat, sekalipun rencana Kartini jadi sangat berbeda, beliau tetap bisa mencapai keinginannya karena mau terus berjuang.

Terus, apa maksud dari judul besar diatas?

Dari perjuangan dan sosok beliau, gw beranggapan hari Kartini akan lebih relevan jika diisi dengan pergerakan intelektual kaum perempuan seperti yang beliau lakukan dulu, entah dengan memberangkatkan kaum pelajar perempuan bersekolah di luar negeri, mengirimkan mereka ke pelosok untuk membangun desa, memberdayakan mereka dalam inkubator bisnis, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut lebih bermakna dibanding hanya sekedar berlomba-lomba memakai pakaian adat terbaik tanpa mengetahui keinginan luhur dari Ibu Kartini. Lagipula, dari buku itu juga gw jadi tahu kalau Ibu Kartini itu ngga pingin jalan kemayu atau jalan jongkok dengan memakai pakaian yang membuat susah napas. So, buat apa? Hehehe

Selain relevansi hari Kartini, perjuangan dan sosok beliau juga menyalakan semangat gw dan mungkin banyak perempuan lainnya di kala pandemi ini untuk tetap bisa menggapai hal kecil sampai hal besar yang kita mau. Kalau gw ngga salah, Kartini baru bisa keluar rumah itu di umur ke-16. Beliau 4 tahun terkurung dengan konsisten memperjuangkan keinginan luhurnya aja bisa, Kenapa kita ngga?. Mungkin gw dan kalian pernah sekali dua kali menyerah, but it is OK, Kartini juga pernah berkali-kali menyerah, we’re human, right? Tapi Kartini ngga lama-lama membenamkan dirinya pada kondisi menyerah, dia akan bangkit dan teguh kembali kepada tujuan awal yang harus dia capai. Kehadiran para sahabat yang memiliki paham yang sama dengannya juga memiliki peran penting saat Kartini mulai menyerah. Mereka hadir melalui surat-surat untuk memberi masukan atau bahkan hanya sekedar memberi dukungan. Terdengar klise, tapi memang benar adanya bahwa akan sangat baik dalam proses mencapai tujuan atau keinginan, kita dikelilingi orang-orang yang pemahaman dan tujuannya sama dengan kita. Akhir kata, Semangat para Kartini Indonesia! Jangan bosen berjuang!

--

--

Deksa N.
Deksa N.

No responses yet